mengenal 6 dimensi budaya Menurut Hofstede 

Apa itu 6 dimensi budaya? Dimensi budaya merupakan satu keadaan yang membedakan negara satu(bukan individu) dengan negara yang lain. Nilai sebuah negara pada satu dimensi bersifat relatif, karena penelitian berdasarkan manusia yang mana satu dengan yang lain keunikan yang berbeda.

di dalam buku di tulis Hofstede menerangkan dengan tegas bagaimana kultur Indonesia yang sesungguhnya. dari Jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi, masyakarat yang saling membantu, negara yang feminin dan berbagai indeks lainnya.

pertanyaannya apakah ini berlaku hingga sekarang untuk Indonesia? atau hanya sebagian etnis grup saja yang mendekati indeks Hofstede?

Gerard Hendrik Hofstede seorang psikolog sosial yang berasal dari Belanda, pegawai IBM dan sekaligus professor bidang antropologi dan manajemen di Universitas Maastrich. Beliau juga adalah pionir penelitian dalam bidang cross-cultural group dan organisasi.

Beliau merupakan salah satu yang mengembangkan suatu metode untuk mengetahui dimensi kultur dari setiap negara di seluruh dunia.

Dimensi kultur ini beliau bedakan menjadi 6 dimensi budaya yaitu:

  1. Jarak kekuasaan (power distance),
  2. Tingkat ketergantungan (individualism),
  3. maskulinitas (masculinity),
  4. Penghindaran ketidakpastian (uncertainly avoidance),
  5. Orientasi jangka panjang (long term orientation) dan
  6. Tingkat kesenangan/kepuasan (indulgence).

Bukunya yang berjudul Culture’s Consequences and Cultures and Organizations: Software of the Mind merupakan salah satu karyanya yang fenomenal dan digunakan oleh banyak peneliti dalam penelitian yang berhubungan dengan cross-cultural group dan organisasi.

mari kita bahas 6 dimensi budaya Menurut Hofstede.

6 Dimensi Kultural Hofstede

Jarak kekuasaan (power distance) – PDI

Dimensi pertama ini berkaitan bahwa semua individu dalam suatu komunitas atau masyarakat yang tidak setara.

dimensi budaya

Bisa dikatakan bahwa dimensi ini menerangkan bagaimana sikap budaya suatu negara terhadap ketidaksetaraan di antara individu.

Dimensi ini didefinisikan sebagai sejauh mana penerimaan anggota lembaga atau organisasi yang kurang berkuasa di suatu negara menerima bahwa kekuasaan didistribusikan secara tidak merata.

Baca Juga : Apa yang Dimaksud Harga Pokok Penjualan (HPP)?

Individualisme (Individualism) – IDV

Individualisme lebih menekankan kepada sejauh mana tingkat saling ketergantungan di dalam suatu masyarakat atau organisasi terhadap satu sama lain.

dimensi budaya

Hal ini berkaitan erat dengan cara seseorang melihat citra diri masing-masing pribadi sebagai “saya” atau “kami”.

Dalam masyarakat yang individualis, biasanya orang hanya berfokus kepada diri sendiri dan keluarga inti, sedangkan masyarakat yang kolektivis lebih melihat kelompok sebagai bagian dari mereka.

Masculinity – Femininity – MAS

Maksud dari dimensi ini adalah masculinity ditekankan kepada yaitu dalam suatu masyarakat atau organisasi, mereka lebih didorong oleh suatu persaingan, prestasi dan kesuksesan.

Berbeda dengan masculinity¸ femininity lebih menekankan bahwa nilai-nilai kehidupan lebih didominasi oleh kepedulian sesama.

dimensi budaya

Dimensi ini menekankan apa yang memotivasi seseorang, ingin menjadi lebih baik (masculinity) atau menyukai apa yang mereka lakukan (femininity).

Penghindaran ketidakpastian (Uncertainty Avoidance) – UAI

Bagaimana cara masyarakat menghadapi kenyataan bahwa masa depan tidak pernah dapat diketahui : haruskah kita mencoba mengendalikan masa depan atau membiarkannya terjadi?

dimensi budaya

Ambiguitas ini membawa tingkat kecemasan dan budaya yang berbeda-beda dari setiap negara sehingga menjadi kultur yang berbeda tentang cara mengatasi kecemasan ini.

Sejauh mana anggota masyarakat atau organisasi merasa terancam oleh situasi yang ambigu dan tidak diketahui.

Orientasi jangka panjang (long term orientation) – LTI

Dimensi ini lebih menggambarkan bagaimana cara masyarakat memelihara hubungan masa lalu yang dimilikinya dengan tantangan yang akan dihadapi masa kini dan masa depan nanti.

dimensi budaya

Hal ini nantinya akan menciptakan dua cara pandang yang berbeda, yaitu normatif dan pragmatis.

normatif : akan memiliki kecurigaan yang tinggi, karena perubahan yang terjadi bertentangan dengan nilai atau tradisi yang mereka punya selama ini.

pragmatis : lebih melihat bahwa kebenaran akan sangat bergantung kepada konteks, situasi dan waktu.

Masyarakat yang pragmatis ini akan memiliki kemampuan menyesuaikan tradisi atau nilai yang dimiliki terhadap kondisi yang berubah-rubah dengan mudah.

Tingkat kesenangan atau kepuasan (indulgence) – IDI

Dimensi ini lebih menekankan bagaimana orang-orang mengontrol keinginan mereka dilihat dari nilai yang mereka dapatkan selama hidup.

dimensi budaya

Kontrol yang relatif lemah akan digolongkan ke dalam “indulgence” dan relatif kerasa akan dimasukkan ke dalam “restraint”.

Masyarakat yang memiliki sifat “restraint” lebih cenderung kepada masyarakat yang sinis dan pesimis, dikekang oleh norma-norma sosial yang berlaku.

Sedangkan masyarakat yang lebih ke arah “indulgence” dapat mengontrol dan lebih bebas dalam bertindak.

Bagaimana Kultur Indonesia Dari Kaca Mata “Hofstede”

Grafik di atas merupakan gambaran bagaimana Hofstede menggambarkan kultur atau tradisi yang berada di negara Indonesia dan juga negara-negara lainnya.

Sangat terlihat sekali perbedaan yang menonjol dibeberapa dimensi.

Jarak kekuasaan (power distance) – PDI

Indonesia mendapatkan indeks paling tinggi di dimensi jarak kekuasaan (power distance) – PDI, yaitu (78).

Ini berarti bahwa Indonesia mempunya budaya yang sangat bergantung kepada hierarki, ketidaksetaraan hak antara pemegang kekuasaan dan rakyat biasa, pemimpin bersifat direktif, berkuasa penuh dan mengontrol segalanya, haus akan hormat.

Hal ini juga berlaku seperti gambaran di dunia Pendidikan, guru tahu segalanya dan murid hanya diam menerima.

Individualisme (Individualism) – IDV

Indonesia merupakan masyarakat yang kolektivis. Nilai empat belas terlihat pada dimensi Individualism – IDV.

Individu dalam masyarakat dapat menyesuaikan dengan baik apa yang menjadi tujuan bermasyarakat.

Hal ini juga tercermin pada aspek keluarga, contohnya jika laki-laki Indonesia ingin menikah dengan wanita Indonesia, diharuskan berkenalan terlebih dahulu dengan keluarga dari pihak wanita.

Contoh lain yaitu, hubungan antara orang tua dan anak. Anak yang telah tumbuh dewasa akan merawat dan menjaga orang tua mereka hingga mereka tidak ada dibandingkan dengan memberikan ke panti sosial.

Penghindaran ketidakpastian (uncertainly avoidance)- UAI

Nilai empat puluh delapan (48) dianggap sebagai preferensi yang rendah untuk menghindari kepastian. Bisa dikatakan bahwa kultur Indonesia memendam atau tidak menunjukkan segala perasaan (terlebih amarah dan kekesalan).

Contohnya, dapat dilihat di adat Jawa yang selama ini melekat, mereka selalu memendam segala amarah yang ada, mungkin hal ini bertujuan untuk mengurangi perselisihan (terutama di dunia kerja). Aspek lain yang tercermin dari dimensi ini adalah bisa dilihat dari cara menyelesaikan konflik.

Komunikasi langsung menjadi satu cara yang mengancam atau tidak nyaman bagi masyarakat. Cara yang lebih mengena adalah dengan menggunakan perantara atau orang ketiga dalam penyelesaian masalah.

Orientasi jangka panjang (long term orientation) -LTI

Nilai enam puluh dua (62) didapatkan untuk orientasi jangka panjang masyarakat Indonesia – masyarakat yang pragmatis. Mereka percaya bahwa kebenaran sangat bergantung kepada konteks, waktu dan situasi.

Mereka dapat menyesuaikan dengan mudah yang yang dinamis (berubah-ubah), kecenderungan yang kuat akan menabung dan investasi yang dilakukan dengan tekun untuk mencapai tujuan.

Tingkat kesenangan/kepuasan (indulgence) – IDI

Masyarakat dengan skor rendah dalam dimensi ini memiliki kecenderungan masyarakat pesimis dan sinis.

Budaya pengekangan sangat lekat dan menempel pada masyarakat Indonesia.

Masyarakat dengan orientasi ini memiliki persepsi bahwa tindakan mereka dikekang oleh norma-norma masyarakat.

Bagaimana dengan etnis di Indonesia?

Secara pribadi, jika kita lebih melihat lebih teliti metodologi yang dilakukan oleh Hofstede. Tujuan penelitiannya berfokus kepada kultur nasional secara umum, tidak melihat secara keseluruhan ciri khas suatu negara, seperti Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Sebagian besar sample yang diambil oleh Hofstedeg didominasi oleh etnis grup jawa, sedangkan Indonesia bermacam-macam etnis.

Beberapa penelitian yang lebih mengkhususkan pada etnis grup di Indonesia dengan menggunakan nilai Hofstede menyimpulkan bahwa penelitian Hofstede masih relevan jika diterapkan di Indonesia, namun hanya untuk beberapa etnis grup saja, seperti etnis grup Jawa dan Sunda.

Untuk etnis grup lainnya seperti etnis grup Batak, Minangkabau, Cina – Indonesia memiliki beberapa perbedaan di enam dimensi Hofstede , terutama dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainly avoidance)- UAI dan Masculinity – Femininity – MAS.

semoga artikel blog ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan kamu

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia
Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *